HINDARI “THERAPY SHOPPING”
Kebetulan hari ini bermain – main sedikit di facebook, dan melihat salah seorang teman baik saya membagikan status dari guru saya, Adi W. Gunawan.
Saya copas disini status beliau
Setiap individu bila mengalami masalah pasti ingin segera lepas dari masalahnya. Cara yang ditempuh untuk mengatasi masalah juga sangat beragam. Ada yang dengan doa, meditasi, refleksi diri atau perenungan, curhat, konsultasi, menghadiri seminar atau lokakarya, ke pemuka agama, hingga minta bantuan hipnoterapis klinis.
Terapi adalah kontrak upaya, bukan kontrak hasil. Ini yang selalu sangat saya tekankan pada setiap (calon) klien. Terapis, sesuai kode etik, tidak boleh memberi jaminan kesembuhan. Yang bisa disampaikan pada klien adalah statistik kesembuhan yang berhasil dicapai saat terapis membantu klien-klien sebelumnya dengan ragam masalah yang mirip atau sama dengan yang dialami (calon) klien.
Sesuai definisi di atas maka, dalam proses terapi, dibutuhkan kerjasama penuh antara klien dan terapis dalam menjalankan proses terapi. Dalam konteks klinis, kami meminta komitmen klien untuk bersedia menjalani terapi hingga empat sesi. Ini hanya komitmen dan tidak harus sampai empat sesi. Bila dalam satu atau dua sesi masalah klien sudah berhasil diatasi maka tidak perlu dilanjutkan ke sesi berikutnya. Namun bila dibutuhkan, klien perlu menjalani hingga empat sesi terapi, atau bahkan lebih. Semua bergantung pada kondisi klien. Dan kami, hipnoterapis klinis, selalu menjalankan praktik dengan memegang kode etik, integritas tinggi, dan profesional. Kami tidak boleh dengan sengaja memperpanjang sesi terapi demi mendapat keuntungan finansial dari klien.
Masalah akan muncul bila klien overekspektasi atau berharap terlalu tinggi. Ada klien yang berharap, dan bahkan bersikeras, untuk sembuh hanya dalam satu sesi terapi. Ini tentu sangat menyulitkan proses terapi. Hukum pikiran mengatakan bahwa dalam hal yang berhubungan dengan pikiran bawah sadar, semakin besar upaya sadar semakin kecil respon pikiran bawah sadar.
Ada klien yang baru menjalani satu sesi terapi dan belum mencapai hasil seperti yang diharapkan sudah langsung mengatakan terapisnya tidak cakap, tidak pintar, tidak efektif. Klien ini tidak melanjutkan ke sesi berikutnya dan mencari bantuan ke terapis lain.
Hal yang sama ia lakukan dengan terapis lain. Ia hanya menjalani satu sesi terapi dan saat belum berhasil mengatasi masalahnya ia pindah ke terapis lain. Ini yang saya sebut dengan fenomena “Therapy Shopping”. Selengkapnya bisa baca di http://goo.gl/gFGiES.
Sama halnya sakit fisik, saat sakit kita butuh minum obat. Dan untuk melihat dan merasakan efek obat tentu butuh waktu. Dokter yang telah memberi resep selalu berpesan, “Obatnya diminum rutin. Bila dalam tiga hari masih sakit atau panasnya tidak turun, segera kembali ke dokter untuk pemeriksaan lebih lanjut.”.
Bisa dibayangkan bila pasien hanya minum obat selama sehari dan belum ada perkembangan positif seperti yang ia harapkan, lalu pindah ke dokter lain, atau ke terapis lain, mencampuraduk obat satu dengan yang lain. Hasilnya pasti buruk untuk diri pasien.
Demikian juga dengan proses terapi pikiran. Semua butuh proses dan waktu. Klien yang sudah bermasalah selama bertahun-tahun ingin sembuh hanya dengan satu proses terapi yang berlangsung sekitar 2 atau 3 jam. Benar, dalam beberapa kasus kami bisa menyembuhkan klien hanya dalam satu sesi terapi. Namun, ini tidak berlaku untuk semua klien. Setiap klien adalah unik dan butuh penanganan yang personal.
Apakah boleh bila klien baru menjalani satu sesi terapi, merasa tidak puas dengan layanan yang ia dapatkan dari si terapis, memutuskan untuk minta bantuan terapis lain?
Ini tentu sangat boleh dilakukan. Memang sebaiknya klien perlu cermat dan sedikit banyak tahu apa yang dilakukan terapisnya. Namun bila klien merasa kurang puas, ia perlu menyampaikan hal ini pada terapisnya. Atau bila memang ia benar-benar tidak nyaman atau tidak puas, ia berhak untuk tidak kembali ke terapis ini dan cari terapis lain.
Namun, bila ternyata pola ini ia ulangi dengan terapis-terapis lain, klien hanya menjalani satu sesi terapi dengan tiap terapis, maka klien perlu jujur pada diri sendiri, apakah memang benar terapis tidak cakap atau memang klien punya masalah “tidak bisa komit” menjalani sesi terapi, selain masalah yang ia ingin selesaikan dengan bantuan terapis.
Bagaimana menurut Anda?